Entri Populer

Kamis, 21 Oktober 2010

Uji Perkecambahan Grammatophyllum scriptum (Lindl.) BI., Anggrek Raksasa Langka Endemik Papua dengan Perlakuan Macam Media

A. JUDUL PROGRAM
Uji Perkecambahan Grammatophyllum scriptum (Lindl.) BI. ,Anggrek
Raksasa Langka Endemik Papua Dengan Perlakuan Macam Media
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Keanekaragaman anggrek di Indonesia sangat besar, diperkirakan
jumlahnya sekitar 3.000 spesies, banyak diantaranya mempunyai nilai
ekonomi tinggi (Tjitrosoepomo, 1993). Potensi yang besar ini merupakan
keuntungan tersendiri bagi negara kita, namun sekaligus juga sebagai
tantangan untuk menjaga, mengelola dan melestarikannya. Aset kekayaan
genetik ini mampu memberi nilai ekonomi tinggi apabila dikelola dengan
baik. (Marsusi dkk, 2001).
Pada umumnya tanaman dapat diperbanyak, baik dengan organ hasil
perkawinan berupa biji (generatif), maupun dengan bagian-bagian badaniah
(vegetatif). Perbanyakan secara generatif ialah dengan biji-bijinya, tetapi cara
ini kurang praktis dan cukup sulit dan tidak berhasil jika tidak dibudidayakan
secara in vitro yaitu di dalam botol-botol steril. Pada tanaman anggrek, teknik
perbanyakan generatif secara in vitro yaitu secara aseptik dalam medium
buatan memegang peranan penting dibanding dengan perbanyakan generatif
secara konvensional (Gandawidjaja, 1978, Suryowinoto, 1997).
Tidak seperti tumbuhan berbunga lainnya, awal kehidupan anggrek di
alam sangat kompleks. Dari ribuan biji yang terdapat di dalam satu buah
hanya satu-dua biji saja yang dapat tumbuh secara alami, itupun karena
adanya kerjasama dengan cendawan mycorrhiza (Roedjito, 1975). Menurut
Karjono (1995), kelangsungan hidup biji anggrek di alam sangat tergantung
pada cendawan mikoriza. Biji kecambah tidak akan berkecambah atau tumbuh
dengan baik tanpa dukungan mikoriza. Hal itu karena biji anggrek berukuran
kecil dan tidak mempunyai kotiledon yang merupakan cadangan makanan
pada awal pertumbuhan biji. Dengan adanya cendawan mikoriza, biji anggrek
mendapat makanan berupa hasil penguraian sisa-sisa pakan oleh mikoriza.
Ditinjau dari hal tersebut, tidak mengherankan jika banyak jenis anggrek yang
4
dikategorikan sebagai jenis langka, atau tidak menjadi tumbuhan yang umum
dijumpai di alam (Rassmusen, 1995).
Spesies Grammatophyllum termasuk jenis anggrek berukuran menengah
sampai sangat besar, mencakup juga Anggrek Raksasa (Grammatophyllum
speciosum) yang dipercaya sebagai jenis anggrek yang paling besar. Anggrek
Macan (Grammatophyllum scriptum) merupakan salah satu jenis yang sangat
menarik dan terkenal lainnya, pseudobulbnya berukuran 20 cm, mempunyai 3
sampai 4 daun-daun yang kuat dengan panjang 1 m (Wikipedia, 2006).
Anggrek tersebut termasuk jenis epiphytic yang hanya terdapat di hutan-hujan
yang lebat di daerah Papua (Wikipedia, 2006). Meskipun persebarannya
cukup luas, anggrek ini justru menghadapi ancaman serius dari perburuan tak
terkendali serta kerusakan habitat. Sosok pohonnya yang sangat besar mudah
terlihat oleh para pemburu, terlebih lagi saat memunculkan bunganya yang
mencolok. Belum lagi perkembangbiakan alami di habitat dengan biji
sangatlah sulit diandalkan karena lambatnya laju pertumbuhan dari fase biji
hingga mencapai tanaman dewasa yang siap berbunga. Mungkin hal inilah
yang mendasari kenapa anggrek ini menjadi salah satu species anggrek yang
dilindungi.
Aplikasi teknik perkecambahan biji secara in vitro untuk spesies anggrek
tropis yang langka yang terancam punah akibat pengambilannya dari alam
yang berlebihan dan hilangnya habitat secara terus-menerus merupakan teknik
yang sangat tepat untuk konservasi biodiversitas secara in situ (Buyun et al.,
2004). Pengecambahan biji anggrek secara in vitro juga memiliki keuntungan
memperpendek siklus hidup anggrek yang ingin dikembangkan sehingga biji
yang belum dewasa dari buah yang belum masak pun dapat digunakan sebagai
eksplan (Vejsadova, 2006).
Beberapa penelitian membuktikan jenis media yang digunakan
mempengaruhi persentase perkecambahan biji anggrek. Menurut
Puspitaningtyas (2006), perkecambahan biji anggrek Paraphalaenopsis
serpentilingua pada media Hyponex memberikan hasil paling baik
dibandingkan media Murashige-Skoog (MS), Vacin-Went (VW), dan
5
Knudson C (KC). Media kultur untuk perkecambahan biji anggrek Vanda
tesselata juga telah dipelajari oleh Jonojit dan Nirmalya (2002) dengan
menggunakan media Knudson C, Vacin-Went, dan Murashige Skoog. Namun
penelitian mengenai pengaruh jenis media yang dipakai dalam kultur jaringan
belum banyak dilakukan terhadap perkecambahan biji Grammatophyllum
scriptum sehingga media yang terbaik bagi perkecambahan spesies tersebut
belum banyak diketahui. Uji perkecambahan secara in vitro dalam penelitian
ini dilakukan dalam empat jenis media dasar yaitu media MS, VW, KC, dan
Hyponex. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh macammacam
media terhadap perkecambahan biji Grammatophyllum scriptum dan
untuk mencari media yang terbaik bagi perkecambahan biji Grammatophyllum
scriptum.
C. PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh macam media terhadap induksi protocorm dari biji
anggrek Grammatophyllum scriptum?
2. Media apakah yang paling cocok untuk induksi protocorm dari biji
anggrek Grammatophyllum scriptum?
Hipotesis yang dikemukakan adalah media yang berbeda dapat
memberikan pengaruh yang berbeda dalam menginduksi protocorm dari biji
anggrek Grammatophyllum scriptum.
D. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Pengaruh macam media terhadap induksi protocorm dari biji anggrek
Grammatophyllum scriptum.
2. Media yang paling cocok untuk induksi protocorm dari biji anggrek
Grammatophyllum scriptum.
6
E. LUARAN YANG DIHARAPKAN
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi mengenai pelestarian anggrek langka
Grammatophyllum scriptum melalui efektivitas perkecambahan biji.
2. Memberikan informasi mengenai perkecambahan biji anggrek
Grammatophyllum scriptum secara in vitro.
3. Memberikan informasi mengenai macam-macam media yang dapat
digunakan unuk perkecambahan biji Grammatophyllum scriptum.
4. Memberikan informasi mengenai media kultur in vitro yang paling efektif
untuk perkecambahan biji Grammatophyllum scriptum.
F. TINJAUAN PUSTAKA
1. Grammatophyllum scriptum (Lindl.) BI.
a. Klasifikasi:
Divisio : Magnoliophyta
Sub divisio : Angiospermae
Class : Lilliopsida
Sub class : Liliidae
Order : Orchidales
Family : Orchidaceae (Dressler, 1993)
Tribe : Cymbidiinae
Genus : Grammatophyllum
Species : Grammatophyllum scriptum (Lindl.)BI. (Millar, 1999)
b. Morfologi
Grammatophyllum scriptum merupakan anggrek epifit berukuran
besar yang memiliki pertumbuhan batang simpodial, tumbuh berkelompok,
habitus tegap, memiliki pseudobulb yang tebal, kuat, panjangnya 24-25 cm,
lebar 7-9 cm, pseudobulb muda dilindungi oleh selaput seludang, tiap
seludang memiliki 4-8 daun. Daun berbentuk lanseolat atau oblanseolat,
panjang daun 40-70 cm dan lebar 6-10 cm. Inflorensi muncul dari dasar
pseudobulb, panjangnya 90-190 cm, jumlah bunga 25-50. Bunga memiliki
7
ukuran dan warna yang bermacam-macam, pada umumnya berwarna hijau
kekuningan, berbintik coklat, ungu, coklat kemerahan atau coklat kekuningan.
Bibir bunga atau labelum berupa 3 lembaran, berambut, berwarna ungu/putih
kekuningan dan bergaris/beralur coklat. Masa berbunga antara bulan Januari-
Agustus (Brink dan Backer, 1968; Madulid, 2002).
Gambar 1. Morfologi Bunga Grammatophyllum scriptum
Gambar 2. Habitus Grammatophyllum scriptum
8
c. Ekologi dan Distribusi
Grammatophyllum scriptum di Indonesia terdistribusi pada
kawasan hutan mangrove Papua, antara lain: Oransbari, Manokwari, Pulau
Rumberpon, Pulau Nau, Yapen Waropen dengan rata-rata berasosiasi pada
pohon inang diantaranya Bruguiera gymnorhioza, Heriiera litoralis,
Fruticosum, Ficus sp., Homalium foetidum, Intsia sp., Palaquium sp.,
Terminalia sp., Vatica sp. dan Xylocarpus sp. (Kesaulija, 2002; Mangiwa,
2002; Ick, 2002). Terkadang spesies ini juga berasosiasi dengan pohon
kelapa serta tumbuh pada sela-sela tangkai daunnya (Millar, 1999).
d. Perbanyakan
Terjadinya buah Grammatophyllum scriptum di alam karena
bantuan serangga (Roedjito, 1975). Meski dimungkinkan untuk tersebar jauh
dengan bantuan angin, tidak semua biji anggrek di alam dapat tumbuh
menjadi tumbuhan dewasa. Bijinya yang ringan (0,341-24 μg) dan hanya
berukuran 0,05-6 mm (Arditti, 1992), tidak memungkinkan kandungan
makanan dalam jumlah yang cukup untuk bertahan hidup, sehingga sebelum
mampu melakukan fotosíntesis, kebutuhan nutrisinya harus dipasok dari
luar. Dalam hal ini jamur merupakan pemasok utama nutrisi biji anggrek
pada awal kehidupannya (Harley dan Smith, 1983). Namun demikian di
alam, hanya biji yang kebetulan bertemu dengan jamur simbionnya saja
yang akan mampu bertahan dan meneruskan kehidupannya hingga dewasa.
Biji yang sama sekali tidak menemukan jamur simbionnya atau bertemu
dengan jamur yang bukan simbionnya, akan mengalami kematian akibat
kekeringan atau akibat diparasiti (Rassmusen, 1995).
Biji anggrek yang sedang berkecambah disebut protocorm. Pada
protocorm biasanya tidak dapat ditunjuk dengan jelas bagian mana yang
akan menjadi tunas atau menjadi akar (Suryowinoto, 1996). Protocorm
hanya merupakan jaringan, namun dapat tumbuh menjadi kecambah
(Soeryowinoto, 1974). Protocorm memiliki bentuk bulat atau elips dengan
beberapa rambut uniselular pada bagian basal dan suatu apeks meristem
9
pada ujungnya. Protocorm dari sebagian besar anggrek epifit tropis
menunjukkan kemampuan untuk langsung mengembangkan akar (Chang et
al., 2005).
e. Kegunaan
Di daerah Maluku bagian dari batang Grammathophyllum sp
digunakan untuk mengobati jari yang terluka dengan menggunakan gerusan
temulawak dan air garam. Selain itu dapat pula digunakan sebagai obat beriberi
dengan mencampurkannya dengan jahe (Rifai, 1976). Sebagai tanaman
hias, Grammatophyllum scriptum memiliki potensi yang sangat besar karena
ukuran bunganya yang sangat besar dan coraknya yang unik dan menarik.
Selain itu, kelangkaan anggrek jenis ini juga membuat harganya di pasaran
relatif tinggi.
2. Kultur In vitro
a. Pengertian Kultur In vitro
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman, seperti protoplasma, sel, sekelompk sel, jaringan, dan organ, serta
menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian bagian tersebut
dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap
kembali (Gunawan, 1998). Kultur in vitro dikerjakan di atas media dengan
nutrisi yang harus dikerjakan dalam kondisi yang steril. Pencegahan
kontaminasi oleh jamur, bakteri, dan lain sebagainnya adalah syarat
keberhasilan kultur in vitro (Suryowinoto, 1996). Studi mikropropagasi ini
umumnya hanya dilakukan pada suatu laboratorium dengan cukup peralatan
untuk menjaga media steril dengan menggunakan autoklaf dan laminar air
flow cabinet (Chansean dan Ichihashi, 2007).
b. Perkecambahan Anggrek secara In vitro
Perkecambahan biji secara asimbiotik merupakan teknik utama
untuk memperbanyak spesies anggrek alam maupun hibrida dalam jumlah
10
yang besar. Biji juga dapat dikecambahkan secara in vitro sebelum masak.
Media yang digunakan lebih kompleks daripada yang digunakan untuk
perkecambahan secara simbiotik karena semua nutrien anorganik maupun
organik serta gula harus tersedia untuk anggrek tanpa perantaraan fungi
(Temjensangba dan Deb, 2005). Keberhasilan penggunaan metode kultur
jaringan sangat tergantung pada jenis media. Media kultur tidak hanya
mengandung unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat sebagai
sumber karbon atau bahan organik lainnya. Bahan-bahan alami atau zat
nabati yang pada umumnya merupakan sumber gula, vitamin, zat pengatur
tumbuh, dan asam amino juga dibutuhkan (Widiastoety dan Syafril, 1993).
Perkecambahan asimbiotik umum digunakan untuk propagasi
anggrek tropis. Sangat vital bagi media, peralatan, dan biji untuk tetap steril
pada tiap tahap prosedur perkecambahan. Bakteri atau fungi yang masuk ke
dalam media akan tumbuh lebih cepat daripada kecambah dan membunuh
biji yang berkecambah. Kondisi steril dapat diciptakan melalui sterilisasi
dengan autoklaf semua media selama 15 menit. Suhu dan tekanan pada
autoklaf cukup untuk membunuh semua bakteri dan spora pada media. Biji
juga harus disterilisasi dan ditanam tanpa disertai bakteri dan fungi dari luar.
Ini dilakukan dengan mensterilisasi biji dengan calcium hypochlorite atau
hydrogen peroxide. Untuk memastikan tidak ada kontaminasi, penanaman
harus dilakukan di dalam laminar air flow (Mc Kendrick, 2000).
Pengecambahan biji anggrek secara in vitro memiliki keuntungan
memperpendek siklus hidup anggrek yang ingin dikembangkan. Hasil
penelitian Vejsadova (2006) menunjukkan bahwa biji dari kapsul yang
belum matang dapat dikecambahkan secara in vitro lebih awal, karena itu
resiko kehilangan biji dan kontaminasi dapat dihilangkan serta lama siklus
reproduksi dapat diperpendek, juga menghindari efek negatif dari senyawa
sterilan. Penggunaan kapsul biji yang belum matang sebagai sumber biji
memperpendek siklus reproduksi kira-kira 2-2,5 bulan.
11
c. Media Kultur in Vitro
Secara teknis kita dapat menyemai biji anggrek dalam botol yang
berisi suatu medium tumbuh yang mengandung zat makanan. Untuk
menumbuhkan biji anggrek perlu disediakan media khusus agar biji tersebut
tetap tumbuh dengan kondisi tanpa kehadiran mikoriza (Gandawidjaja,
1978). Komponen media kultur jaringan tumbuhan meliputi makronutrien,
mikronutrien, suplemen ion yang terpisah, vitamin, sumber karbon, dan zat
pengatur tumbuh serta vitamin dan asam amino (Dodds dan Roberts, 1995).
Makronutrien dalam bentuk garam anorganik seperti N, P, K, Ca, Mg dan
mikronutrien seperti Fe, Mn, Cu menyusun media dasar. Asam amino
seperti tripton dan pepton biasa ditambahkan untuk meningkatkan kadar
nitrogen. Mikronutrien dibutuhkan untuk fungsi beberapa enzim dan prosesproses
yang terjadi di dalam sel. Besi (Fe) diperlukan untuk sintesis klorofil.
Besi berkelat digunakan karena besi umumnya tidak dapat larut dalam air
(Anonim, 2007).
Nilai pH dalam media harus asam (5,25-6,25) ketika mengkultur
tanaman epifit. Apabila terlalu basa, pH dapat diubah dengan HCl, HNO3
sedangkan bila terlalu asam dapat ditambah KOH, NaOH, Ca(OH)2. Nilai
pH yang tidak tepat akan menyebabkan penyerapan nutrien kurang efisien
karena beberapa garam terlarut pada pH tertentu (Anonim, 2007).
Tambahan pada medium untuk jenis anggrek tertentu kerap kali
menentukan keberhasilan penaburan benih (Suryowinoto, 1996). Pada benih
anggrek pada umumnya, ditambahkan air kelapa (Suryowinotto, 1996).
Menurut Dodds dan Roberts (1982), penambahan air kelapa yang
merupakan endosperm cair mampu meningkatkan pertumbuhan eksplan
dalam kultur karena mengandung sitokinin. Hasil penelitian Widiastoety
dan Syafril (1993) membuktikan pemberian air kelapa 150 ml/l ditambah
sukrosa 20 g/l dalam media kultur memberikan hasil yang baik terhadap
protocorm like bodies (plbs) anggrek Dendrobium. Dalam media perlu juga
ditambahkan active charcoal (arang aktif) karena anggrek umumnya
12
mengeluarkan senyawa fenol yang akan menghambat perkembangan
eksplan (Dodds dan Roberts, 1982)
Media Murashige-Skoog (MS) tampaknya mengandung jumlah
hara anorganik yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel
tanaman dalam kultur (Gamborg, 1991). Media Murashige and Skoog
menurut Thompson (1974), walaupun pertama kali digunakan untuk kultur
tembakau, ternyata juga dapat digunakan untuk beberapa jenis anggrek.
Media ini mengandung sedikit kadar garam dengan kadar potasium dan
nitrogen yang sangat tinggi. Penggunaan zat pengatur tumbuh tidak begitu
diperlukan untuk sebagian besar anggrek.
Murashige-Skoog menonjol dengan menggunakan campuran nitrat
dan ammonium. Kalium juga diberikan dalam jumlah yang banyak
(Soeryowinoto dan Soeryowinoto, 1977). Menutur penelitian Chou dan
Chang (2004), pada media MS, persentase perkecambahan anggrek
Anoectochilus formosanus dan Haemaria discolor serta hasil persilangannya
mencapai 70%. Chang et al. (2005) juga berhasil mengecambahkan anggrek
Cymbidium dayanum yang satu famili dengan Grammatophyllum scriptum
pada media MS.
Media Knudson C biasa digunakan untuk perkecambahan biji
anggrek. Media ini bisa dilengkapi dengan 100-200 mL air kelapa dan 2
gram arang aktif per liter. Media ini tidak menggunakan besi berkelat
sehingga terjadi pembentukan fosfat besi yang tidak larut dan tidak bisa
dimanfaatkan. Akibatnya kelemahan media ini adalah kekurangan senyawa
besi (Knudson, 1946). Biji yang disebarkan dalam media steril dengan pH
5.0-5.2 ini akan berkecambah setelah tiga minggu (Suryowinoto, 1996).
Media Knudson C telah digunakan oleh Buyun et al. (2004) untuk
mengecambahkan biji anggrek tropis yang langka seperti Cattleya
aclandiae, C. bowringiana, C. granulosa, C. percivaliana serta Cattleyopsis
lindenii dan Dendrobium parishii. Perkecambahan biji anggrek Arachnis
labrosa secara asimbiotik telah berhasil dilakukan dengan media
Murashige-Skoog dan Knudson C ditambah dengan 15% air kelapa dengan
13
persentase perkecambahan masing-masing 66% dan 55% (Temjensangba
dan Deb, 2005).
Menurut Suryowinoto (1996), media Vaccin-Went akhir-akhir ini
lebih banyak dipakai untuk perkecambahan biji anggrek. Perbanyakan
secara in vitro anggrek Grammatophyllum speciosum yang berkerabat dekat
dengan Grammatophyllum scriptum dengan menggunakan biji telah
dilakukan dan berhasil didapatkan anakan dengan media Vacin-Went yang
ke dalamnya ditambahkan air kelapa (Santoso, 1994).
Dalam Sandra (2002), Hyponex merupakan pupuk dengan komposisi
N, P, dan K secara berurutan adalah 10:40:15. Media Hyponex sudah
banyak dipakai dan memberikan respon positif untuk perkecambahan
maupun perbanyakan klon anggrek. Komposisi bahan makro dan mikro
yang lebih sederhana pada media Hyponex diduga lebih cocok untuk
perkecambahan anggrek (Puspitaningtyas, 2006). Nagayoshi (1996)
menggunakan media dasar Hyponex untuk mengecambahkan anggrek
Habenaria radiata sementara Shimura dan Yasunori (2004)
mengecambahkan biji anggrek Cypripedium macranthos dalam media
Hyponex-pepton.
G. METODOLOGI PENELITIAN
1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan di Sub Lab Biologi, Laboratorium Pusat
MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta pada bulan Mei - Agustus 2008.
2. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi : cawan petri,
autoklaf, inkubator, oven, lemari pendingin, laminar air flow cabinet, rak
kultur, erlenmeyer 125 ml, erlenmeyer 250 ml, tabung reaksi, pipet tetes, pipet
volume, cawan petri, spatula, jarum ose, skalpel, gelas beker, gelas ukur,
bunsen buchner, timbangan analitik, dan aluminium foil.
14
2. Bahan
a. Anggrek Grammatophyllum scriptum
Tanaman Grammatophyllum scriptum yang diperoleh dari
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Eksplan yang
digunakan berasal dari buah anggrek yang masih kuncup, dimana kepala
sari masih tertutup rapat oleh daun mahkota dan daun bunga.
b. Sterilan
Senyawa yang digunakan untuk sterilan adalah alkohol 70%.
c. Media
Media yang digunakan adalah media Knudson C (KC), Murashige-
Skoog (MS), Vacin-Went (VW), dan Hyponex.
Media KNUDSON C dalam Suryowinoto (1996) memiliki
komposisi :
Unsur Makro :
Ca(NO3) 4H2O 1.000 mg/l
(NH4)2SO4 500 mg/l
KH2PO4 250 mg/l
MgSO4.7H2O 250 mg/l
Unsur Mikro :
FeSO4.7H2O 25 mg/l
MnSO4.4H2O 7,5 mg/l
Sukrosa 20.000 g/l
Agar 15.000 g/l
Komposisi media MS (Murashige-Skoog) (Dodds dan Roberts,
1995)
Makronutrien:
NH4NO3 1.650 mg/l
KNO3 1.900 mg/l
CaCl2.2H2O 440 mg/l
MgSO4.7H2O 370 mg/l
KH2PO4 170 mg/l
15
Mikronutrien:
FeSO4.7H2O 27,8 mg/l
Na2EDTA.2H2O 37,2 mg/l
MnSO4.4H2O 22,3 mg/l
ZnSO4.7H2O 8,6 mg/l
H3BO3 6,2 mg/l
KI 0,83 mg/l
Na2MoO4.2H2O 0,25 mg/l
CuSO4.5H2O 0,025 mg/l
CoCl2.6H2O 0,025 mg/l
Vitamin:
Myoinositol 100 mg/l
Nicotinic acid 0,5 mg/l
Pyridoxin.HCl 0,5 mg/l
Thiamine.HCl 0,1 mg/l
Sumber Karbon:
Sukrosa 30.000 mg/l
Asam amino:
Glisin 3 mg/l
Media VW menurut Suryowinoto (1996) memiliki komposisi:
Ca3(PO4)2 20,00 mg/l
KNO3 52,50 mg/l
KH2PO4 25,00 mg/l
MgSO4.7H2O 25,00 mg/l
(NH4)2SO4 50,00 mg/l
Unsur mikro:
MnSO4.4H2O 0,75 mg/l
Ferri-tartrat 28,00 mg/l
16
Komposisi media Hyponex menurut Nishimura (1982):
Pupuk Hyponex 3 g/l
Sukrosa 30 g/l
Peptone 2 g/l
Arang aktif 2 g/l
Agar 15 g/l
Sedangkan setiap gram pupuk Hyponex mengandung senyawa hara
berupa:
Nitrogen total 20%
P2O5 20%
K2O 20%
Semua bahan dilarutkan di dalam 1 liter akuades dan dipanaskan di
atas hot plate. Untuk tiap liter media ditambahkan 150 ml air kelapa dan 2
gram arang aktif.
3. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
satu faktor perlakuan yang terdiri dari 4 aras yaitu pengecambahan dalam
media KC, MS, VW, dan Hyponex dengan enam ulangan.
1. Sterilisasi Alat dan Bahan
a. Sterilisasi Alat
Alat-alat yang akan digunakan untuk melakukan percobaan
disterilisasi menggunakan autoklaf suhu 1210C selama 60 menit. Setelah
itu alat-alat yang telah disterilisasi dimasukkan ke dalam oven untuk
dikeringkan dan selanjutnya disimpan di inkubator pada suhu 600C.
b. Sterilisasi Media
Media disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C tekanan 1 atm
selama 15 menit. Kemudian disimpan didalam rak kultur selama 3 hari
sebelum digunakan.
17
c. Sterilisasi Biji
Sterilisasi dilakukan dengan sterilisasi fisik, yaitu dengan
pembakaran sepintas eksplan buah Grammatophyllum scriptum di atas api
Bunsen Burner yang sebelumnya dicelupkan kedalam alkohol 70% dengan
singkat. Pembakaran dengan melewatkan buah di atas api kurang lebih
sebanyak 3 kali dengan diselingi pencelupan buah kedalam alkohol 70%.
Setelah proses ini selesai maka buah kemudian dibelah membujur dan
diambil bijinya untuk disebar di atas media tanam.
3. Cara menebar biji
Cawan petri yang telah berisi media dan telah disterilkan, jika tidak
terjadi kontaminasi setelah 3 hari dapat digunakan untuk menyebar biji
anggrek. cawan petri dimasukkan dalam laminar. Sebelum tutup cawan
dibuka, bagian tepi cawan petri terlebih dahulu dipanaskan di atas lampu
spiritus. Spatula yang akan dipakai untuk mengambil biji disterilkan
terlebih dahulu dengan dipanaskan di atas lampu spiritus sampai merah,
lalu dicelupkan dalam alkohol 70% lalu dibakar. Cawan petri yang telah
dibuka tutupnya kemudian digunakan untuk meletakkan buah anggrek
yang berupa kapsul yang telah steril. Kemudian buah dipotong dengan
skalpel yang sebelumnya dibakar di atas lampu spiritus. Biji kemudian
dikeluarkan dari dalam kapsul satu-persatu keatas media dengan
menggunakan spatula dan diratakan ke seluruh permukaan media.
Sebelum cawan petri ditutup, cawan petri dipanaskan kembali di atas
lampu spiritus, kemudian ditutup rapat. Botol kultur berisi media dan biji
disimpan di dalam rak kultur selama satu bulan kemudian diamati
munculnya protocorm di permukaan media.
18
4. Menghitung Persentase Biji yang Berkecambah
Cara menghitung persentase biji yang berkecambah adalah dengan
menghitung jumlah botol yang berisi protocorm pada tiap media.
Persentase perkecambahan = jumlah biji yang berkecambah× 100%
jumlah keseluruhan biji
5. Analisis Data
Data yang diperoleh adalah data kuantitatif berupa presentase
perkecambahan biji anggrek Grammatophyllum scriptum pada masingmasing
media. Data kualitatif dianalisis secara statistik dengan uji ANAVA
dan dilanjutkan dengan uji DMRT taraf 5%.
H. Hasil dan Pembahasan
Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji anggrek yang
berasal dari buah Grammatophyllum scriptum yang berumur 8 bulan sejak
penyerbukan. Buah itu sendiri diperoleh dari tanaman Grammatophyllum
scriptum yang telah berumur satu tahun. Buah Grammatophyllum scriptum
berukuran besar dan berbentuk lonjong. Buah yang telah berumur delapan buah
tersebut mengandung biji yang telah masak dan siap ditaburkan ke media. Biji
anggrek Grammatophyllum scriptum sendiri berbentuk serbuk dan berwarna
kuning serta berukuran mikroskopis seperti biji anggrek pada umumnya.
Menurut Karjono (1995), kelangsungan hidup biji anggrek di alam sangat
tergantung pada cendawan mikoriza. Biji kecambah tidak akan berkecambah atau
tumbuh dengan baik tanpa dukungan mikoriza. Hal itu karena biji anggrek
berukuran kecil dan tidak mempunyai kotiledon yang merupakan cadangan
makanan pada awal pertumbuhan biji. Dengan adanya cendawan mikoriza, biji
anggrek mendapat makanan berupa hasil penguraian sisa-sisa pakan oleh
mikoriza. Untuk menumbuhkan biji anggrek yang kurang sempurna itu perlu
disediakan media khusus agar biji tersebut tetap tumbuh dengan kondisi tanpa
kehadiran mikoriza. Pada penelitian ini media yang digunakan adalah media
Murashige-Skoog (MS) yang dimodifikasi menjadi ½ kali konsentrasi, media
Vaccin-Went, media Knudson-C, dan media Hyponex.
19
Metode sterilisasi buah tidak menggunakan bahan kimia, melainkan
dengan cara dicelupkan ke dalam alkohol kemudian dibakar di atas lampu spiritus
sebanyak tiga kali. Buah dipotong menggunakan skalpel kemudian biji ditaburkan
di tiap media secara merata.
Biji yang sudah ditanam kemudian diinkubasi di ruangan khusus yang
steril dan dalam kondisi gelap dengan cara lemari penyimpanan botol ditutup
dengan kertas koran. Hal ini bertujuan selain untuk mencegah tingginya suhu
dalam lemari inkubasi karena pengaruh cahaya, juga dikarenakan embriogenesis
dipacu intensitas cahaya yang rendah. Selain itu cahaya juga memacu produksi
senyawa fenol. Anggrek dikenal sebagai tanaman yang menghasilkan senyawa
fenol dengan kadar yang tinggi. Senyawa fenol tersebut dapat menyebabkan
kematian embrio, namun kondisi ini sebelumnya ditanggulangi dengan pemberian
arang aktif pada media sehingga memberi warna gelap pada media dan menyerap
fenol. Kondisi tersebut dipertahankan hingga satu minggu. Kemudian setelah biji
berubah warna dari kuning menjadi hijau, botol kultur kemudian bias diletakkan
pada tempat yang terang.
Pengamatan dilakukan hingga terjadi perkecambahan, yaitu munculnya
protocorm pada media yang diperlakukan. Pengamatan dilakukan lima minggu
setelah penanaman, dimana pada umumnya protocorm telah muncul pada semua
media, namun dengan efektivitas yang berbeda-beda. Dari hasil penelitian,
diperoleh bahwa media yang paling efektif dalam perkecambahan biji
Grammatophyllum scriptum adalah media Hyponex yaitu 100% biji yang disebar
di atas media tersebut dapat berkecambah. Protocorm berbentuk bulat dengan
beberapa rambut penyerap yang bersifat uniseluler pada bagian basal tempat
melekatnya protocorm pada media. Rambut ini belum disebut akar sebab
fungsinya hanya menempelkan diri pada media. Protocorm pada sebagian besar
anggrek epifit tropis menunjukkan kemampuan untuk menumbuhkan akar secara
langsung (Chang et al., 2005).
Morfologi protocorm sangat berbeda dengan morfologi biji anggrek yang
berbentuk seperti bulu-bulu halus sehingga mudah diamati apakah biji telah
berkecambah menjadi protocorm atau belum. Selain itu, ukuran protocorm jauh
20
lebih besar dibandingkan dengan biji yang belum berkecambah. Gambar
morfologi protocorm dengan menggunakan mikroskop stereo dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Gambar 3. Morfologi protocorm Grammatophyllum scriptum
Tabel 2. Persentase perkecambahan biji anggrek Grammatophyllum scriptum
pada media Murashige-Skoog, Vacin-Went, Knudson-C, dan Hyponex
dengan enam ulangan.
Ulangan
I
Ulangan
II
Ulangan
III
Ulangan
IV
Ulangan
V
Ulangan
VI
Murashige-Skoog 30% 0% 30% 10% 10% 10%
Vacin-Went 10% 20% 70% 40% 90% 10%
Knudson-C 40% 20% 10% 10% 50% 60%
Hyponex 100% 100% 100% 100% 100% 100%
21
0
20
40
60
80
100
Persentase
perkecambahan
Hyponex VW MS KC
Macam media
Grafik 1. Grafik hubungan persentase perkecambahan biji anggrek
Grammatophyllum scriptum dengan macam media berupa
media Hyponex., Vacin-Went (VW), Murashige-Skoog
(MS),dan Knudson-C (KC).
Berdasarkan analisis statistik dengan Anova, diketahui bahwa macam
media berpengaruh secara signifikan terhadap persentase perkecambahan. Setelah
diuji lanjut dengan DMRT 5 %, hasilnya Hyponex berpengaruh secara signifikan
terhadap media Murashige-Skoog (MS), Vacin-Went (VW), dan Knudson-C
(KC).
Dari tabel dan grafik di atas dapat dilihat bahwa media yang paling efektif
dalam mengecambahkan biji anggrek Grammatophyllum scriptum adalah media
Hyponex, dengan semua ulangannya mencapai 100% dari biji berhasil
berkecambah, diikuti media Vacin-Went, Knudson-C, dan ½ MS. Keefektifitasan
media Hyponex yang tinggi dalam mengecambahkan biji anggrek
Grammatophyllum scriptum dikarenakan komposisi unsur makro dan mikro yang
sederhana seperti yang dikemukakan Puspitaningtyas dkk. (2006). Dalam
22
penelitian tersebut, media Hyponex juga menunjukkan sangat efektif dalam
mengecambahkan biji anggrek Paraphalaenopsis serpentilingua. Indani (2008)
juga menemukan penggunaan pupuk Hyponex sebagai media perkecambahan
anggrek Dendrobium yang terbaik sehingga dapat menggantikan penggunaan
media ½ MS.
Seperti tumbuhan lannya, anggrek selalu membutuhkan unsur hara untuk
mempertahankan hidupnya. Di alam bebas atau habitat aslinya anggrek
memperoleh unsur-unsur tersebut dari udara dan bahan-bahan organik yang
terakumulasi disekitar perakaran dan secara konstan jumlah unsur-unsur ini
bertambah akibat adanya daun-daun yang gugur dan bahan lain yang membusuk.
Media dapat menjadi sebab terjadinya stagnasi pertumbuhan, karena dari
kondisi medialah suatu sel dapat atau tidak terdorong melakukan proses
pembelahan dan pembesaran dirinya. Faktor ini disebabkan karena kandungan
senyawa hara baik makro maupun mikro yang berbeda dalam tiap media. Pada
kondisi alami, kebutuhan nutrisi biji anggrek yang berkecambah dicukupi dengan
cara bersimbiosis dengan mikroorganisme sehingga tidak membutuhkan unsur
hara yang terlalu kompleks. Oleh karena itu media Hyponex lebih efektif dalam
perkecambahan biji anggrek karena unsur haranya yang lebih sederhana. Pupuk
hyponex mengandung unsur hara makro berupa nitrogen total dalam bentuk
senyawa nitrogen yang larut dalam air seperti nitrat dan amonium maupun
senyawa nitrogen yang tidak larut dalam air.Sementara kandungan fosfat dalam
bentuk senyawa P2O5 dan senyawa potasium dalam bentuk k20. selain itu untuk
mencukupi kebutuhan hara mikro, pupuk hyponex juga mengandung unsur B, Ca,
Co, Cu, Fe berkelat, Mg, Mn, Mo, S, dan Zn.
Media yang cukup baik digunakan dalam proses perkecambahan biji
anggrek Grammatophyllum scriptum adalah media Knudson-C dan media Vacin-
Went. Kedua media tersebut telah lama digunakan dalam pengecambahan biji
anggrek. Hal ini dikarenakan kandungan NH4
+ dalam dua macam media tersebut
ternyata dibutuhkan untuk perkembangan protocorm. Namun kedua media
tersebut masih kurang efektif dalam mengecambahkan biji anggrek
Grammatophyllum scriptum apabila dibandingkan dengan media dengan unsur
23
makro dan mikro yang lebih sederhana seperti media Hyponex. Media VW telah
berhasil digunakan pada anggrek Dendrobium (Ahmadi, 1996; Ruhana, 1996;
Rohati, 1997; Fajar, 1998).
Persentase perkecambahan biji anggrek yang paling kecil ditunjukkan oleh
media MS. Komposisi media MS yang terlalu kompleks diduga bertanggung
jawab atas ketidakefektivitasannya dalam mengecambahkan biji anggrek,
walaupun media ini dikenal dapat digunakan untuk semua jenis tumbuhan secara
umum. Walaupun komposisi hara pada media MS yang digunakan dalam
penelitian ini telah dikurangi hingga setengahnya untuk menghindari masalah
tersebut, namun ternyata untuk pengecambahan anggrek diperlukan media yang
lebih spesifik, seperti media Knudson C, Vacin-Went, ataupun Hyponex. Selain
itu penggunaan media MS memiliki kelemahan yaitu terjadinya pengendapan
senyawa hara yang terkandung dalam media tersebut. Senyawa yang mengendap
kebanyakan adalah fosfat dan besi, diikuti Ca, K, N, Zn dan Mn dalam jumlah
yang sedikit, dan pengendapan yang paling sedikit dialami senyawa yang
mengandung unsur C, Mg, H, Si, Mo, S, Ca dan Co. Setelah tujuh hari dibiarkan,
maka kira-kira 50% dari Fe dan 13% dari PO4
+, mengendap. Kemungkinan dari
hal inilah menyebabkan kurang berpengaruhnya bagi perkecambahan biji
anggrek. Karena proses tersebut tidak memerlukan unsur-unsur hara yang terlalu
kompleks, namun mungkin dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan protocorm
selanjutnya. Media MS dengan setengah komposisi juga digunakan Sinha et al.
(2007) pada anggrek Phalaenopsis amabilis.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa media yang paling efektif dalam
mengecambahkan biji anggrek Grammatophyllum scriptum adalah media
Hyponex. Media ini dipandang lebih ekonomis sebab bahannya berupa pupuk
komersial siap pakai dan mudah diperoleh.
24
I. Kesimpulan:
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Media yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda terhadap induksi
protocorm dari biji anggrek Grammatophyllum scriptum. Urutan dari media
yang paling banyak menginduksi protocorm adalah media Hyponex, VW,
KC, dan ½ MS.
2. Media yang paling efektif untuk induksi protocorm dari biji anggrek
Grammatophyllum scriptum adalah media Hyponex yang dimana persentase
perkecambahan biji anggrek pada media ini mencapai 100%.
J. Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui optimalisasi
komposisi media Hiponex dan penggunaan pupuk lain sebagai media induksi
protocorm dari biji anggrek Grammatophyllum scriptum.
25
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, S. A. 1996. Pengaruh Berbagai Jenis dan Dosis Ekstrak Pisang terhadap
Pertumbuhan Protocorm Anggrek Dendrobium pada Kultur In vitro.
Skripsi . Universitas Muhammadiyah Malang
Arditti, J. 1992. Fundamentals of Orchid Biology. John Wiley and Sons
Anonim. 1825. Grammatophyllum Blume Flora van Nederlandsch Indie.
Bijdragen. P. 337, t. 20
Anonim. 2007. Orchid Manual. http://web.telia.com/~u11206828/eseedsow.htm
[1 September 2007]
Brink, B. V. D. and Backer, C. A. 1968. Flora of Java Spermatophytes Only. The
Ruksherbarium Netherlands. III : 363
Buyun, L., Lavrentyeva, A., Kovalska, L. Ivannikov, R. 2004. In vitro
Germination of Seeds of Some Rare Tropical Orchids. Acta Universitatis
Latviensis, Biology Vol. 676: 159–167
Chang, C., Chen, Y.C., Yen, H.F. 2005. Protocorm or Rhizome? The Morphology
of Seed Germination in Cymbidium dayanum Reichb. Bot. Bull. Acad. Sin.
71 (46): 71-74
Chansean, M., Ichihashi, S. 2007. Conservation of Wild Orchids in Cambodia
(Doritis, Rhyncostylis, Spathoglottis) by Simple Aseptic Culture Method.
Proceedings of NIOC 2007, Nagoya, Japan
Chitta, D.C.R. 2005. Regeneration and Mass Multiplication of Arachnis labrosa
(Lindl. ex Paxt.) Reichb: A Rare and Threatened Orchid. Current Science
vol. 88(12): 1966-1969
Chou, L.C., Chang, D.C.N. 2004. Asymbiotic and Symbiotic Seed Germination of
Anoectochilus formosanus dan Haemaria discolor and Their F1 Hybrids/
Bot. Bull. Acad. Sin vol 45: 143-147
Dodds, J.H. and Roberts, L.W. 1995. Experiments in Plant Tissue Culture.
Cambrigde University Press, London
Dressler, R. L. 1993. Phylogeny and Classification of the Orchid Family.
Dioscorides Press.
http://florawww.eeb.uconn.edu/acc_num/19930011.html
26
Fajar, N. 1998. Penambahan Ekstrak Pisang dan Kentang Pada Media
Pertumbuhan Anggrek Dendrobium sp Secara In vitro. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Malang
Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur
Jaringan Tumbuhan Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi IPB,
Bogor
Harley, JL. and Smith, SE. 1983. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press.
London
Ick, J. H. 2002. Asosiasi Anggrek Epifit dan Pohon Inang pada kawasan Hutan
Mangrove di Pilau Nau Kabupaten Yapen Waropen. Skripsi. Fakultas
Kehutanan UNIPA. Papua
Indani, I. 2007. “Pengaruh Pepton dan Media Dasar Terhadap Pertumbuhan
Protokorm Anggrek Dendrobium Hibrida In vitro”. Skripsi. Universitas
Lampung
Jonojit, R., Nirmalya, B. 2002. Optimization of in vitro seed germination,
protocorm growth and seedling proliferation of Vanda Tessellata (Roxb.)
Hook. Ex G. Don. Phytomorphology 52(3):167-178
Karjono. 1995. Teknik Perbanyakan Anggrek. Buletin Perhimpunan Anggrek
Indonesia. 4(7) :14.
Kesaulija, S. E. 2002. Eksplorasi Jenis Anggrek Epifit pada Kawasan Hutan
Mangrove Oransbari Kabupaten Manokwari. Skripsi. Fakultas
Kehutanan. UNIPA. Papua. http://www.papuaweb.org/unipa/dlibs123/
skripsi-terbaru.html
Knudson. 1946. A New Nutrient Solution for Orchid Seed Germination. American
Orchid Society Bulletin vol 15: 214-217
Madulid, D. A. 2002. A Pictorial Guide to the Note Worthy Plants of Palawan,
Palawan Tropical Forestry Protection Programme. Palawan Council for
Substainable Development. PP : 77.
http://www.pcsd.ph/photo_gallery/flora/tigre.htm
Mangiwa, E. 2002. Jenis-jenis Anggrek Epifit pada Kawasan Hutan Pulau
Rumberpon. Fahutan Unipa. Papua
McKendrick, S. 2000. In vitro Germination of Orchids : a Manual. Ceiba
Foundation for Tropical Conservation
Millar, A. 1999. Orchids of Papua New Guinea. Timber Press. USA
27
Nagayoshi, T. 1996. Multiplication and Breeding of Japanese Wild Orchid
Habenaria Radiata (Thunb.). Spreng. Proceeding 5th Asia Pacific Orchid
Conference and Show Fukuoka 1995
Nishimura, 1982. Japanese orchids. In Orchid Biology II: Reviews and
Perspectives.
Puspitaningtyas, D. M., Mursidawati, S., Wijayanti, S. 2006. Studi Fertilitas
Anggrek Paraphalaenopsis serpentilingua (J.J.Sm.) A.D. Hawkes.
Biodiversitas 7(3): 237-241
Rasmussen, H. 1995. Terrestrial orchids from seed to mycotrophic plant.
Cambridge University Press, Cambridge.
Rohati. 1997. Pengaruh Penggunaan BA dan NAA Terhadap Pertumbuhan Planlet
Anggrek Dendrobium sp dalam beberapa Medium Dasar. Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Malang
Ruhana, H. 1996. Pengaruh Konsentrasi NAA dan Kinetin terhadap Pertumbuhan
Awal Eksplan Dendrobium sp Secara In vitro. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Malang
Sandra, E. 2002. Membuat Anggrek Rajin Berbunga. Depok: Agro Media Pustaka
Santoso, U. 1994. Induksi Embrio Somatik Grammatophyllum speciosum Bl pada
Media Vacin-Went dengan Kombinasi NAA dan BAP. Research Report
from JIPTUMM Biotechnology Center
Shimura, H., K., Yasunori. 2004. Micropropagation of Cypripedium macranthos
var. rebunense through Protocorm-like Bodies Derived from Mature
Seeds. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 78 (3): 273-276
Sinha, P. Hakim, M. L, Alam, M. F. 2007. “ Efficient Micropropagation Of
Phalaenopsis amabilis (L.) Bl. Cv. ‘Cool Breeze’ Using Inflorescence Axis
thin Sections As Explants. Propagation of Ornamental Plants 7(1): 9-15,
2007
Soeryowinoto, S.M., Soeryowinoto, M. 1977. Perbanyakan Vegetatif pada
Anggrek. Yogyakarta: Kanisius
Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman secara In vitro. Yogyakarta:
Kanisius
Thompson, P.A. 1974. Orchids from Seed. Royal Botanic Gardens, Kew.
28
Tjitrosoepomo, G. 1993. Taksonomi Tumbuhan: Spermatophyta. Yogyakarta:
UGM
Vejsadova, H. 2006. Factors Affecting Seed Germination and Seedling Growth of
Terrestrial Orchids Cultured In vitro. ACTA BIOLOGICA
CRACOVIENSIA Series Botanica 48(1): 109–113
Widiastoety, D. dan Syafril. 1993. Pengaruh Air Kelapa terhadap Pertumbuhan
Plbs Anggrek dalam Medium Padat. Bull. Penel. Tan. Hias. 1(1):7-12
Wijayani, Y. 2006. Pertumbuhan Tunas dan Struktur Anatomi Protocorm Like
Body Anggrek Grammatophyllum scriptum (Lindl) BI dengan Pemberian
Kinetin dan NAA. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA. UNS.
Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar